Tatihnya Indah: Mau Belajar Berjalan berkat Anannda Baby Walker
Tatihnya Indah: Mau Belajar Berjalan berkat Anannda Baby WalkerTak terasa sudah sebulan ini Rini (6), putri kecilku, memiliki seorang ‘adik’ bernama Indah. Ade Indah--akhir Oktober nanti genap 1 tahun—sebenarnya adik sepupu Rini. Indah numpang lahir di Bandung dan menghabiskan tahun pertamanya di Jakarta. Orangtuanya memutuskan kembali ke Bandung, mengais segenggam berlian di sini, meninggalkan kemilau emas mengambang di sana.
Tatihnya Indah: Mau Belajar Berjalan berkat Anannda Baby WalkerTak terasa sudah sebulan ini Rini (6), putri kecilku, memiliki seorang ‘adik’ bernama Indah. Ade Indah--akhir Oktober nanti genap 1 tahun—sebenarnya adik sepupu Rini. Indah numpang lahir di Bandung dan menghabiskan tahun pertamanya di Jakarta. Orangtuanya memutuskan kembali ke Bandung, mengais segenggam berlian di sini, meninggalkan kemilau emas mengambang di sana.

Mungkin setiap anak unik, beda tumbuh
kembangnya. Tapi Indah adalah keponakanku dan aku harus tahu ‘segalanya’
tentang Indah walau orangtuanya sangat tertutup. Berdasarkan informasi
yang kudapat dari penuturan ibunya, ternyata Indah bernaung di
lingkungan yang kurang mendukung tumbuh kembangnya. Mereka tinggal di
kompleks militer yang sudah jadul dengan mayoritas penghuninya rata-rata
lansia, tidak ada gelak tawa kanak-kanak di sana. Rumah begitu sepi dan
tertutup. Nenek Indah dari pihak ayah baru beberapa bulan yang lalu
meninggal. Kakek Indah telah berpulang 2 tahun yang lalu. Pembantu
datang seminggu sekali sedang sang ayah sibuk ‘menambang’ kemilau emas
mengambang di tengah hiruk pikuknya ‘sungai’ kehidupan di metropolitan
yang tak terduga riak ataupun arusnya. Sang ibu menikmati kebersamaan
dengan anak pertamanya namun menyimpan sisa-sisa ‘baby blues syndrom’
sehingga ASI mendadak tidak keluar lagi saat Indah berusia 5 bulan.
Kami benar-benar tidak tahu apa-apa tentang
Indah, namun kami bertekad agar Indah mengejar ketinggalannya di
masa-masa emas ini. Ibuku mengajari Indah berjalan dengan cara menarik
kedua tangannya ke atas dan membujuk Indah agar mau melangkahkan
kakinya. Berhasil! Cara kuno ini—sejak berabad-abad lalu hingga kini
masih dipraktekkan juga oleh kaum ibu di Indian Barat ( Berk, hal 145)--
ternyata bisa menstimulus Indah sehingga jadi sangat suka belajar
tatih. Sang ibu harus membungkukkan badannya sedangkan badan Indah
cenderung condong ke depan, kedua tangan Indah terjulur ke atas, agak
terangkat. Agak riskan dan nyerempet bahaya, khawatir tulang punggung
Indah patah, sepertinya beresiko juga menggeser engsel sendi siku dan
pergelangan tangan. Belum lagi sakit punggung dan salah urat leher bagi
yang menuntun Indah, dalam hal ini sang ibu.
Menyadari kelemahan cara tatih yang kuno itu,
ibuku membuatkan alat tatih tradisional dari bambu. Ibu menyuruh tukang
kayu untuk mengerjakan alat bantu tatih tersebut. Alat ini terdiri dari
2 batang bambu, satu bambu yang diancapkan ke dalam tanah memiliki
lingkar tengah yang lebih kecil daripada bambu satunya lagi. Bambu
bagian luar ini diberi pegangan dari kayu. Karena lingkar tengahnya
lebih besar dari bambu yang ditanam ke dalam tanah, bambu bagian luar
ini seakan menjadi pakaian luar bagi pasak bambu. Saat tangan anak
memegang pegangan kayu maka si bambu akan bergerak memutar mengikuti
gerakan anak, alat tatih berputar-putar di satu titik. Namun ibunya
Indah selalu ketakutan dan tidak percaya terhadap keamanan alat tsb.
Apalagi Indah bukannya berjalan maju tapi berputar dengan langkah
mundur, semakin cemaslah adikku menyaksikan gerakan tatih anaknya itu.
Ibuku menandaskan,
”Semua anak mamah pake bambu model begini saat
belajar jalan. Kamu juga pake yang seperti ini dan buktinya kamu bisa
jalan pas 1 tahun. Semua anak mamah ngga ada yang telat jalannya,”
demikian argumentasi ibuku.
Adikku berkilah khawatir ini, takut begini,
cemas kalau-kalau begitu. Indah sendiri memilih posisi ‘menyerah’ saat
belajar berjalan, menggenggam erat tangan penuntunnya ; kadang uwa,
kadang om, kadang bapa eyang kadang tante. Indah ceria membusungkan
posisi tubuhnya hingga condong ke depan sedang telapak kakinya menjejak
pasti melangkah ke tempat yang ingin ditujunya.
Aku tidak pernah menuntunnya. Aku justru ingin
Indah belajar merangkak. Maka saat aku berkesempatan ‘menculik’ Indah
dari pangkuan ibunya dan memboyong Indah ke rumahku, aku justru
menstimulus Indah tuk merangkak. Kududukkan Indah di lantai, aku
merangkak menjauhinya seraya berkata,”Ayo Indah, sini cantik…kejar bunda
yaa.” Aku bersembunyi di balik tembok sehingga Indah merengek
mencariku. “Ciluuuk baaaa? Ada yaa? Bunda adakaan?” Sontak Indah
membeo,”Adda…adda…”. Indah merangkak! Perlahan tapi pasti dalam waktu 2
minggu sejak cuti bersama usai, akhirnya Indah bisa merangkak dan mampu
mengucapkan kata “Adda, Engga adda…”. Indah sangat suka bermain ciluk ba
denganku, Indah suka merangkak mengejarku bahkan hingga ke kamar mandi,
tempat paling luar di lantai atas rumahku! Subhanallah…
Lantas seminggu yang lalu aku berkenalan dengan
Anannda Baby Walker. Aku mendapatkannya dari seorang sahabat, ia
meminjamkannya padaku. Tentu saja aku tak mau begitu saja percaya rayuan
seorang marketing ulung. Aku ingin mencobanya dulu, membuktikan
kalimat-kalimat fantastisnya mengenai Anannda Baby Walker ini. Sahabatku
itu juga baik hati, ia bersedia meminjamkan alat bantu jalan tsb,”Kalau
Indahnya cocok, Insya Allah akan kubeli…” demikian janjiku padanya.
Aku membujuk ibunya Indah agar mau memakaikan
Anannda Baby Walker pada Indah. Dengan berat hati, adikku akhirnya mau
juga mengikuti usulku. Indah yang tak terbiasa dengan produk Anannda,
terlihat gelisah dan menjerit petanda emoh bin ogah. Indah berusaha
menyingkirkan ke dua tali pengaman Anannda Baby Walker dari tubuhnya.
Secara psikologis, sang Ibu memang tidak percaya lagi-lagi akan
keamanan alat bantu jalan bahkan rancangan terkini sekalipun. Ia menepis
alat bantu jalan tradisional berbahan bambu. Ia juga dengan yakin
mengikuti saranku untuk tidak memakaikan baby walker model Apollo.
Ternyata rancangan Anannda pun tidak memuaskan hatinya. Ibunya Indah
takut jika Indah terjatuh, terpelanting, sungguh tak mau membuat Indah
menangis. Maklum ibu muda, selalu takut dan curiga, tidak mudah percaya
begitu saja. Rasa tidak percaya, rasa cemas dan takut tersebut otomatis
menjalar ke anak. Indah jadi curiga, gelisah dan tidak nyaman. Sang ibu
yang gugup lantas buru-buru melepas Anannda. “Kayaknya Indah ngga mau,
teteeh…” kata adikku dengan suara tercekat.
“Mungkin masih adaptasi, perlu waktu…nanti kita coba lagi yaa..” desakku, adikku hanya diam.
Anannda Baby Walker tergeletak begitu saja di
sofa, aku berusaha melupakan kejadian tersebut dengan mengajak Indah
bermain ciluk baa. Aku merangkak ke luar dan Indah mengejarku hingga
adik bungsuku datang dan menemukan Anannda dan tas biru kemasannya.
”Ini apa? Koq lucu? Teteeh, ini apaa?”
Om-nya Indah dengan seksama membaca sekilas info
mengenai Anannda Baby Walker yang tercantum pada tas biru Anannda. Aku
juga menjelaskan panjang lebar mengenai fungsi Anannda Baby Walker
padanya. Penuh percaya diri, adik lelakiku itu memakaikannya ke Indah.
“Yuuk, belajar jalan sama Om yaa? Pasti Indah bisa!”
Subhanallah, Indah dengan suka hati mau belajar
tatih dengan Om-nya itu. Ibuku bahagia sekali melihat cucu ke 5-nya itu
tertawa, melangkah mantap di teras yang cukup luas. Telunjuk kanan
Indah teracung, mengarah ke tempat yang ingin ditujunya. Sekali waktu
hampir terjatuh, dengan sigap Om-nya mengangkat tali pengait dan Indah
kegirangan diangkat seperti itu.
Memang, tak perlu cemas dengan segi keamanan.
Tali mengait terjahit kokoh, mampu mengangkat beban hingga 20 kg. Berat
badan Indah hanya 9 kg. Pengaitnya bisa dibuka dan dipasangkan dengan
mudah. Anannda didesain secara fungsional tanpa menafikan keindahan.
Jahitannya sangat rapih dan kuat. Pegangan pada tali pengait dilapisi
bahan lembut yang lapisan dalamnya memiliki bantalan busa sehingga
telapak tangan kita sang penuntun tidak akan lecet. Kedua tangan kita
tidak akan licin berkeringat karena keringat yang mungkin keluar dari
telapak tangan akan terserap lapisan kain pembungkus pada pegangan
tersebut. Bahannya lembut dan memiliki busa bantalan hampir di seluruh
permukaan, bahkan di daerah selangkangan, daerah sensitif anak aman
terlindung walau jadi penopang beban saat kita mengangkat tali Anannda
Baby Walker misalnya saat anak melangkah di undakan yang curam, atau
menghindari kubangan berlumpur. Menurutku, desain Anannda sangat aman
karena menopang hingga ke dada anak, punggungnya pun aman terlindung
sehingga meminimalisir kemungkinan patah tulang belakang saat anak
terlalu condong ke belakang. Tangan anak pun bebas bergerak, tak usah
memegang tali.
Well, Indah kadang memegang tali-tali Anannda,
mungkin karena terbiasa belajar tatih dengan posisi tangan ‘menyerah’.
Tapi begitu kami lepaskan tangannya dari tali, Indah bisa juga
mengayunkan tangannya dengan leluasa. Seharian itu Indah asyik menikmati
pengalamannya barunya dengan Anannda Baby Walker. Ibuku ingin
membelinya, girang sekali beliau melihat cucunya mantap tatih di
pekarangan.
”Mama beli yang ini saja, paling kepake Indah hanya 3 bulan, masih bisa dilungsur lagi untuk adiknya Annisa,” kata ibuku.
“Jangaan Maah, ini hanya pinjaman. Nanti
kupesankan yaa, warna pink untuk Indah, yang ini kayaknya untuk anak
laki-laki deh, soalnya warnanya hitam bermotif anyaman warna
tembaga…Insya Allah minggu depan yaa, nanti kutelpon temannku.” Janjiku
pada ibu.
Aku sesekali mengajak Indah jalan-jalan dengan
Anannda pinjaman tersebut. Indah menikmati kebersamaan denganku, Indah
sangat PD mengarahkan langkah kaki mungilnya menuju rumahku, melintasi
pekarangan eyangnya, menyebrang jalan kecil dan langsung menuju ke
rumahku. Ternyata Indah tahu pasti tujuannya, padahal selama ini Indah
kugendong bila kuajak serta ke rumahku. Demikianlah Indah mengisi masa
emas di tahun pertamanya ini dengan merangkak, main ciluk baa, dan
latihan jalan bersama Anannda. Sudah seminggu Indah tatih dan kami masih
menunggu pesanan yang kabarnya sedang diproduksi, untuk Indah spesial
Anannda Baby Walker warna pink.
Cimahi, Jawa Barat, 7 Oktober 2011
Bunda Rini
Referensi : Laura E. Berk, Child Development, Massachusetts, 1997.