banner here

Aku dan Mama

kapsul sambiloto,kapsul kunyit putih,kapsul kelor,obat kanker,herbal kanker,obat covid,herbal covid,obat corona
Artikel



Aku dan Mama Di Hari-Hari Sulit

Aku belajar jadi wanita dari mama, jelas saja karena mama role model pertama yang kukenal. Kalau diingat-ingat lagi, pertama kali aku mengalami menstruasi saat aku duduk di bangku SMP kelas 2 di tahun 87an. Pulang sekolah, aku kebelet pipis. Aku kaget melihat bercak darah di celana dalamku. Gugup aku keluar dari kamar mandi dan mba Inah yang kebetulan sedang rapih-rapih itu bertanya padaku,”Teteh kenapa? Koq pucat sekali?” Agak ragu kukatakan padanya bahwa aku “berdarah” sampai tembus ke celana dalam. Mba Inah langsung memeluk dan menciumku seraya berkata,”Aduuh…selamat yaaa…teteh udah gadis sekarang…”. Saat itu aku tidak mengerti makna dibalik ucapan kebahagiaannya namun terasa tulus dan menenangkan. Mba Inah meminta agar aku mengganti celana dalamku dan ia menyiapkan handuk tipis putih. Kalau diingat lagi sebenarnya handuk tsb biasa dipakai pelari atau tukang becak untuk menyeka keringat. Entah mba Inah mendapatkannya dari mana, namun ia mengatakan bahwa lipatan handuk tsb harus kupakai sebagai ‘duk’ untuk menampung darah menstruasiku.

Saat mama pulang dari tempat kerja, kukatakan padanya bahwa aku “sudah jadi gadis” seperti yang dikatakan mba Inah. Walau tanggapannya agak dingin-- tidak seperti mba Inah yang terharu berlinang air mata seraya memeluk serta menciumku—mama mengajariku soal menjaga kebersihan di daerah V dan membuatkanku tampon dari bahan yang lembut tapi bukan handuk. Aku diajari untuk mencuci tampon itu sampai bersih dan hilang bau amisnya. Aku memakai tampon cuci ulang itu hingga aku duduk di bangku SMA. Saat itu aku bersekolah di luar kota, mengejar sekolah favorit. Jarak yang cukup jauh dan jam belajar yang lebih lama tidak memungkinkan tampon yang kupakai di masa menstruasiku tetap aman melaksanakan fungsinya. Seringnya luber hingga tembus ke rok seragam abu-abu. Akhirnya mama menyarankan agar aku memakai pembalut sekali pakai, membekaliku keperluan itu sehingga bila telah penuh, aku diharuskannya mencuci hingga darahnya hilang dan bersih dan membuangnya ke tempat sampah lantas berganti dengan yang baru.

Kini diusia 30an, aku mulai berkenalan dengan produk-produk yang ramah lingkungan. Awalnya ada seorang kawan yang menawarkan pembalut yang harganya 6 kali lipat dari harga pembalut biasa yang beredar di pasaran. Produk MLM ini mengklaim sebagai produk yang hieginis, bebas klorin dan dioxine. Konon, menurut salesnya, produk pembalut yang beredar di pasaran itu adalah ‘produk berbahaya’. Dia menyodorkan testimony akan kehebatan produknya sehingga aku tertarik dan memakainya. Ternyata kelebihannya hanyalah penambahan ramuan herbal ke dalam pembalut tersebut namun menimbulkan efek panas dan ‘bau jamu’ di daerah V ku. Saat kubaca kandungan tampon pada kemasannya,--yang kata salesnya asli terbuat dari kapas bukan sebuk kayu—aku kaget sekali, sebab jelas-jelas tertera produk ini menggunakan bahan baku ‘cottonlike’ yang aman dan hieginis. OMG! Aku tertipu. Bahan baku cottonlike sebenarnya berasal dari serbuk kayu juga, bahan baku ‘seperti layaknya kapas’ telah memperdaya kaum Hawa. Harga mahal ternyata tidak bersanding dengan keamanan dan kesehatan alat-alat reproduksi perempuan.

Kejadian ini begitu mengusik kesadaranku, membuat sisi kritisku tumbuh sehingga aku menggali berbagai informasi mengenai produk sanitary khusus wanita dari berbagai media. Seorang sahabat yang sedang menempuh S3 di Amerika mengirimkan sebuah buku yang mengugah kesadaranku Whitewash : Exposing the health and environmental dangers of women’s sanitary products and disposable diapers—what you can do abaout it karya Liz Armstrong dan Adrienne Scott.

Singkat kata, buku itu mengisahkan betapa tidak sehat dan  berbahayanya produk-produk sanitari yang dipakai kaum hawa yakni pembalut sekali pakai termasuk juga diaper sekali pakai. Produk instan itu terbuat dari serbuk kayu yang diproses sedemikian rupa sehingga nampak seperti kapas yang putih dan lembut. Saat proses pengolahan limbah kayu menjadi pembalut dan popok tsb, pemakaian klorine dan dioxine tak terelakkan. Otomatis kita, kaum Hawa dan balita kita sebenarnya pengguna produk berbahaya nomer 1. Belum lagi efek sampahnya itu, tidak terurai dan akan menggunung mencemari lingkungan.

Kala itu, aku terkenang kembali akan masa remajaku. Betapa mama sebenarnya sayang padaku juga cinta pada bumi ini. Mama mengajariku kebersihan, kesehatan sekaligus cinta lingkungan dengan cara yang bersahaja : memakai tampon dari kain. Ternyata Anannda juga menyediakan produk ramah lingkungan yang sangat nyaman dan hieginis. Sekitar 6 bulan yang lalu, Ibu Widya seorang reseller produk Anannda, menghadiahkan Anannda menspad (MP) sebanyak 10pcs. Segera kucuci dan kujemur. Lapisan luarnya terbuat dari kain parasut yang kedap air, jadi aku menjemur bagian dalamnya yang lembut dan lumayan tebal itu.Ternyata Anannda menspad dengan segera cepat kering kala dijemur di tempat terik yang terkena matahari langsung.

Saat Anannda menspad cukup kering, kusetrika bagian dalamnya agar kuman yang tidak mati saat penjemuran bisa musnah sekejap. Iseng kusetrika juga lapisan luarnya. Ternyata tidak apa-apa, kain parasut tebal itu cukup tangguh terhadap panas setrika listrik level panas 2 untuk bahan rayon. Bentuk anannda menspad ini sangat unik, mirip celana dalam thong yang super seksi hanya saja talinya seperti tali karet BH yang elastic dan dalpat disesuaikan dengan lingkar pinggang kita. Rasanya cukup aman kala kupakai anannda menspad regular tanpa menggunakan celana dalam lagi. Habis tebal, kalau kudobel  lapisan luar dengan CD-ku, rasanya gimana gitu…

Gembar-gembornya, Anannda menspad mampu menahan darah menstruasi selama berjam-jam. Tapi karena cadangan MP-ku banyak, jadi saat aku merasa kurang nyaman di jam ke 2, aku segera berganti, memakai MP yang baru. Cara mencuci MP yang telah menampung kotoran darah haidh kita itu, ternyata cukup mudah. MP yang kotor dibilas di air deras (di washtafel) hingga darahnya yang terserap kain Velcro di lapisan dalam dilepaskan curahan air. Bila kotoran dirasa sudah bersih, gunakan sabun mandi untuk mencuci lapisan terluar MP. Lantas MP bisa kita rendam dengan deterjen bersama-sama pakaian kotor lainnya. MP cukup tangguh dicuci dengan mesin cuci dan tetap bersih walau dibilas dengan tangan saja.

Pengalamanku yang aman dan tetap nyaman bersama MP ini, kuceritakan ke mama. Beliau tertarik untuk memakai Anannda panty liner (PL) sebab mama sudah menopause namun memerlukan PL untuk menyerap air seni yang kadang keluar saat mama batuk-batuk.  Mama puas sekali memakai PL ini sebab disamping motif  parasut di lapisan luarnya yang cantik (biru berhias putih bambu) juga  cukup aman menyerap ceceran air seni padahal PL tipis. Hanya saja karena model thong dan  menutupi daerah V hingga ke pinggang bawah, beliau merasa kurang nyaman. Akhirnya aku memesan PL maxi yang dirancang khusus wanita berbadan besar seperti mamaku. PL maxi ini menutup hingga ke billybutton (udel).

Kini, aku dan mama jadi konsumen Anannda yang setia sebab Anannda memberi jaminan kenyamanan dan kesehatan reproduksi juga lingkungan. Aku dan Anannda memang punya kesamaan visi; kepedulian pada alat-alat reproduksi perempuan dan lingkungan. Dengan menggunakan produk Anannda, aku merasa yakin telah menyelamatkan bumi; aku mengurangi kuota limbah tiap bulannya. Memakai MP membuatku merasa aman tak perlu cemas issue kanker leher rahim yang katanya disebabkan kaum Hawa kurang peka dan kurang peduli terhadap daerah V-nya dikarenakan menggunakan produk instan yang mengandung klorine dan dioxine di hari-hari sulit tiap bulannya. Alhamdulillah, pengeluaran rutin bulan berkurang, MP ternyata ekonomis, juga hieginis. Yuks, jaga keselamatan bumi, cintai alat-alat reproduksimu dengan menggunakan produk yang ramah lingkungan, go green girls…



Cimahi, 30 Oktober 2011


Sobar Hartini